OTA: PayLater is not a Solution

Handaru Sakti
6 min readFeb 1, 2021
Sunrise at Mount Bromo

Kurang lebih setahun pandemi mendera. Banyak bisnis terdampak, perjalanan wisata yang nyata sekali damage-nya. Online Travel Agent (OTA) tentu salah satu di antaranya, di samping pengelola objek wisata, perhotelan, pengelola jasa angkutan dan aneka usaha yang menyertainya (kuliner, kerajinan cinderamata dan seterusnya).

Kehadiran yang begitu tak terduga dan begitu cepat meluas, tak khayal membuat semua pihak di atas tergopoh-gopoh melakukan antisipasi. Di awal cerita banyak pihak yang denial akan bahaya meng-global-nya ancaman Covid-19 ini, termasuk pemerintah yang waktu itu justru memberikan subsidi untuk perjalanan wisata. Setelah berjalan beberapa bulan, ada yang hanya menunggu dan berharap gelombang pandemi ini segera menyusut dan hilang dengan cepat dan semua pulih seperti sediakala. Paska aneka keribetan urusan refund dari para kustomer yang terlanjur memesan tiket atau pembayaran check-in hotel lalu membatalkan pesanannya itu, dan semua cek-cok baik via customer service maupun luapan kekesalan serta umpatan di social media, maka jurus sakti digencarkan: PayLater!

Tentu harapannya para calon pembeli layanan segera menekan tombol “Bayar", walau sebenarnya itu tombol ”Hutang” dengan pihak ketiga, mitra OTA, penanggung PayLater.

Tidak hanya itu, dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang mensyaratkan surat bebas Covid-19 dengan menunjukkan hasil tes molekuler/antigen/antibody, maka para OTA juga menyediakan layanan itu sebagai opsi paket pembelian tiket perjalanan.

Dengan berjalannya waktu hingga hampir satu tahun, pandemi belum berakhir. Bahkan vaksinasi yang sedang dilakukan membutuhkan waktu lebih dari satu tahun ke depan dan masih tersisa keraguan efektivitasnya. Di lain pihak, kondisi semakin memprihatinkan, baik dari segi kesehatan maupun sosial ekonomi. Masyarakat semakin banyak yang terpapar dan petugas serta sarana kesehatan semakin kualahan. Kondisi ekonomi memburuk, gelombang pemecatan di mana-mana. Daya beli masyarakan semakin merosot.

Sebenarnya ada beberapa sektor ekonomi masih berjalan dengan baik, atau bahkan mengalami peningkatan: konsultasi online masalah kesehatan berikut pengiriman obatnya, aneka usaha daring, pertanian dan lainnya. Aneka usaha ini pada prinsipnya mengurangi atau memotong rantai interaksi fisik seminimal mungkin sehingga protokol kesehatan bisa diterapkan dengan baik dan menyisakan aktivitas delivery yang juga tetap menjaga protokol kesehatan tadi (physical distancing dan disinvektanisasi sarana). Sementara tahap-tahap pemesanan, pembayaran, tracking/monitoring, jaminan barang sesuai pesanan dan seterusnya diotomatisasi secara daring.

Di bisnis OTA semua itu sejak dari awalnya sudah dilakukan, namanya juga bisnis “OnlineTravel Agent, tentu mereka yang terdepan dalam layanan daring ini. Yang jadi masalah adalah bahwa bisnis perjalanan wisata ini mensyaratkan kehadiran secara fisik dari si konsumen. Yup, ini betul sekali. Mengambil pelajaran dari bisnis ecommerce atau marketplace di atas, OTA perlu meningkatkan otomasi service atau layanannya tidak sekedar saat pemesanan, namun juga flow perjalanan wisatanya itu sendiri. Yang dengannya interaksi fisik bisa dikurangi secara drastis. Dan hal ini juga bisa dijadikan rangkaian roadmap pengembangan service/product baik selama pandemi hingga pandemi telah berakhir. Di mana layanan akan lebih kontektual, personal dan integral.

Untuk tercapainya hal di atas tentu ada beberapa hal yang harus dimaklumi:

  1. Mungkin dalam hal kuantitas, tentu tidak akan sebanyak ketika kondisi normal.
  2. Harus ada extra effort dengan bekerjasama lebih intense dengan pihak pengelola fisik fasilitas wisata maupun pengelola angkutan wisata terutama berkaitan dengan penerapan otomatisasi flow selama melakukan perjalanan.
  3. Paradoksnya, untuk dua hal di atas, OTA justru harus menurunkan harga layanan mereka mengingat daya beli masyarakat yang anjlok namun setelah sekian lama “terkungkung” dengan kondisi pandemi, mereka butuh rekreasi untuk relaksasi yang terjangkau namun aman, baik fisik maupun mental.

Dengan kondisi pandemi sekarang, perjalan wisata ke luar negeri sudah sangat muskil diharapkan. Begitu banyak negara yang menutup wilayahnya dari pendatang apalagi untuk sekedar berwisata. Kalau pun beberapa perjalanan dinas atau keperluan penting lainnya masih diijinkan, namun wajib karantina begitu merepotkan.

Bahkan untuk perjalan wisata antar daerah di dalam negeri, sedikit banyak juga susah dilakukan dengan pengetatan melalui PPKM. Staycation agaknya peluang yang bisa dilakukan. Ada ungkapan: “yang jauh didatangi yang dekat lupa dikunjungi”, adalah jamak kita dengar. Banyak dari kita yang justru tak sempat berwisata secara jenak di objek-objek wisata di sekitar kita, baik itu wisata alam, budaya seperti mengunjungi aneka museum, wisata edukasi, wisata kesehatan hingga wisata keagamaan.

Menghadirkan detail flow ke objek-objek wisata itu aplikasi OTA dalam bentuk paket perjalanan wisata yang biasa dilakukan oleh para penggiat perjalan wisata tradisional. Mungki tidak perlu dengan kehadiran tour guide secara fisik, aplikasi itu bisa mengambil alih perannya. Menunjukkan alur dari waktu ke waktunya. Menampilkan aneka informasi yang berhubungan dengan suatu lokasi atau situs wisata dengan mengenali lokasi GPS-nya. Menampilkan opsi-opsi tambahan yang bisa diambil oleh kustomer selama melakukan perjalan, misalnya memesan oleh-oleh atau barang cinderamata untuk diantarkan ke hotel sekaligus memberi notifikasi ke resepsionis via aplikasi. Memesan menu sarapan hotel untuk diantarkan di depan pintu kamar hotel. Memesan jasa sewa mobil yang aman dari tertular Covid-19 karena sudah dijamin telah dilakukan disinvektanisasi dan pembatas adanya pembatas dengan pengemudi dan seterusnya. Dengan demikian, me time atau we time benar-benar bisa dinikmati oleh kustomer, yang sekarang mulai banyak memilih berwisata dalam kelompok kecil baik itu bersama anggota keluarga, kerabat, teman atau kolega dekat yang mereka mengetahui kondisi kesehatan antar sesamanya. Suasana tidak terlalu ramai di tempat-tempat wisata saat ini, memungkinkan para pelancong lebih bisa menikmati dengan lebih leluasa perjalanan wisatanya. Sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan imunitas tubuh karena aktivitas fisik dan relaksasi mental: meredakan kecemasan dan frustasi karena kondisi pandemi.

Jika semua itu membutuhkan usaha tambahan dan di lain pihak jumlah peserta kustomer juga tidak banyak, OTA untung dari mana? Ingat poin pertama di atas, mungkin OTA tidak akan dapat sebanyak kondisi normal, namun sedikit lebih baik dari tidak sama sekali. Perlu diingat pula, pengelola wisata, hotel atau sewa mobil misalnya, mereka tentu juga akan bersedia menurunkan tarif layanannya. Tingkat okupasi hotel yang tak banyak sementara aneka biaya operasional harus terus dikeluarkan, maka menurunkan angka profit tentu akan lebih baik untuk bertahan daripada merugi dan harus tutup. Begitu pula halnya dengan pengelola wisata, sewa mobil dan pihak-pihak yang terkait. Dan karena layanan ini mengadopsi pemaketan perjalanan wisata ala agen wisata tradisional, tentu diskon bundle bisa diberlakukan untuk menekan biaya.

Kebalikan dari PlayLater yaitu PayNow justru lebih masuk ke logika kustomer, di mana pemesanan segera bisa dilakukan sedangkan perjalanan wisatanya bisa secara fleksibel ditentukan kemudian (dalam range waktu tertentu). Apalagi kesedian segera melakukan pemesanan di depan ini dibarengi dengan diskon dan bonus menarik. Dengan demikian cash money telah masuk, sebentuk pemasukan yang sangat diharapkan dalam kondisi susah seperti saat ini, bukan saja untuk menutupi biaya operasional reguler, jika cukup memadai bisa diputar terlebih dahulu untuk memberikan nilai tambah, treasury management. Namun sekali lagi, hal ini harus disertai dengan jaminan layanan yang aman, nyaman, terkontrol dan terintegrasi dengan baik, seperti yang telah dipaparkan di atas.

Dan jika pemerintah juga berharap roda ekonomi wisata yang Indonesia adalah sektor ekonomi yang besar dan menyangkut hajat hidup orang banyak, subsidi terukur tentu akan sangat membantu. Uang akan beredar dan memutar roda ekonomi lokal tanpa berharap pepesan kosong kunjungan wisatawan asing.

Bekerja sama denga otoritas penanganan pandemi Covid-19, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), para OTA ini lebih bisa diandalkan keabsahan datanya karena data mereka terpusat dan terkontrol. Bila OTA menyediakan layanan tes Covid-19 tentu akan lebih baik dari sekedar para pengguna jasa perjalanan menunjukkan selembar kertas bebas Covid-19 dari lembaga yang susah ditelusur secara on-time. Tracing dan trecking juga akan lebih mudah dilakukan. Random inspeksi dari pihak berwenang juga bisa lebih cepat bisa dilakukan karena tercatat dan termonitor. Petugas tidak hanya bisa melakukan pemeriksaan di awal perjalanan wisata saja, namun juga bisa memonitornya.

Satu lagi, dalam kondisi krisis dan belum kunjung terlihat akhirnya seperti saat ini, OTA butuh cashflow yang liquid lebih dari waktu-waktu sebelumnya. Walaupun PayLater ditanggung pihak ketiga yang merupakan mitra dari penyalur pinjaman dana, namun jika si pemesan meminta penjadwalan ulang perjalanannya hingga membatalkannya, baik yang dengan/tanpa konfirmasi, karena terkena PHK atau ada kebutuhan penggunaan dana untuk suatu hal yang lebih penting di kemudian hari, maka akan mendatangkan kerumitan dan cost tersendiri, rekonsiliasi finansial dengan mitra hotel/tiket pesawat, mitra penyelenggara PayLater dan urusan-urusan lainnya. Orang yang “minta dibayarkan” lebih dahulu keperluannya, ada kecenderungan menggampangkan persoalan manakala ada sesuatu dan lain hal yang kemudian terjadi dan berada di luar perkiraan dan kuasanya. Walau itu menjadi urusan konsumen dan pihak ketiga, namun pada dasarnya mereka adalah konsumen OTA yang sangat diharapkan recurring dan tidak ada pengalaman kecewa selama berinteraksi dengan OTA yang bersangkutan. Pada akhirnya, pemesanan yang tidak berujung pada pembayaran hanya menambah beban sistem tanpa men-generate profit.

Apa pun bisa terjadi di waktu yang akan datang. Think about it!

--

--

Handaru Sakti

I’m a product-market fit builder | ex-Samsung R&D Institute Indonesia | ex-Tiket.com | ex-Tokopedia