Ride Hailing, Super App dan Sifat Keterjangkauan

Handaru Sakti
2 min readFeb 7, 2021

--

Dulu saya pernah membahas perihal “Kecap Manis” fenomena Go-Jek disini. Namun waktu itu seputar core business mereka yakni ride-hailing. Seiring dengan berjalannya waktu, Go-Jek bermetamorfosis begitu cepat menjadi “super-app” yang memberikan turunan/derivatif layanan tak hanya ride, namun juga food delivery hingga pembayaran tagihan dan tentu saja “the killer feature”, Go-Pay. Langkah akusisi dan tambahan investasi pun gencar dilakukan.

Jika di China layanan super-app seperti ini berawal dari aplikasi chatting (WeChat) dan atau layanan ecommerce (Alibaba) dan Flipkart (India), di Indonesia lain cerita. Bila dengan aplikasi chatting maupun ecommerce, Customer bisa memanfaatkan layanan secara langsung tanpa perantara, kecuali jasa kurir jika ada barang yang harus diantarkan, namun customer tetap tidak bisa berinteraksi lebih jauh lagi dengan sang kurir kecuali pada saat penerimaan barang saja. Customer tidak bisa komplain atas kondisi barang yang diterima pada kurir yang mengantarkannya bila tidak sesuai harapan, tidak bisa pula melakukan top-up saldo mereka untuk pembelian/pemesanan layanan selanjutnya. Hal terakhir ini coba diterobos Tokopedia dengan melakukan kerjasama dengan jasa logistik JNE. Yang tentu akan mempermudah proses pembayaran bagi para customer non-bankable.

Go-Jek malakukannya lebih dari itu, yakni dengan memanfaatkan dengan baik “unfair advantage” yang mereka miliki, yakni interaksi driver dengan customer, dimana driver tidak saja memerankan fungsi sebagai jasa kurir, namun juga sebagai casier yang menerima cash, dan bahkan bisa bertindak layaknya “bank casier” untuk Go-Pay. Ini sepintas terlihat sepele, namun sebenarnya sangat briliant. Dulu, secara konvensional, bank-bank menjangkau kalangan non-bankable di daerah dengan berlomba-lomba membuka sebanyak mungkin kantor cabang (pembantu). Kala itu, tingkat prestis suatu bank bisa diukur bukan saja dengan megahnya bangunan kantor pusat mereka, namun juga berapa banyak dan meratanya kantor cabang. Atau kemudian berapa banyak ATM (Anjungan Tunai Mandiri) yang mereka miliki.

Pada dasarnya, orang Indonesia masih lebih suka adanya “jembatan penghubung” antara dunia analog (baca cash) mereka dengan kemudahan layanan digital. Maka banyak top-up e-toll, aneka tagihan digital (PLN, Pulsa, Air PDAM) hingga pembayaran BPJS Kesehatan dilakukan customer melalui Indomaret/Alfamart.

Sifat keterjangkauan dalam kemudahan ini yang dipenuhi Go-Jek dengan begitu baik dalam sebuah super-app di genggaman customer. Maka kemudian, kehadiran Go-Pay menjadi keniscayaan yang begitu gamblang bila connecting the dots di atas dilakukan. Bingkai super-app ala Go-Jek ini hadir layaknya “Kecap Manis” yang memadu-padankan aneka rasa hidangan bisnis (Go-Ride, Go-Car, Go-Food, Go-Pulsa, Go-Tix, Go-Bluebird, Go-Send, Go-Shop, Go-Mart, Go-Box, Go-Massage, Go-Clean, Go-Glam, Go-Auto, Go-Med dan Go-Nearby) dalam harmoni yang khas “Karya Anak Bangsa”. Adapun loyalty programs yang mengikuti kemudian adalah sebentuk dessert atau hidangan penutup di ujung perjamuan yang berkesan.

Salam satu aspal.

--

--

Handaru Sakti

I’m a product-market fit builder | ex-Samsung R&D Institute Indonesia | ex-Tiket.com | ex-Tokopedia